Sabtu, 24 Januari 2009

PANITIA RENOVASI MESJID“NURUL HUDA”

Kp. Cibango Rt 01/06 Ds. Bojong Kec. Pameungpeuk Kab. Garut 44175 HP 085223307992 (Mukhrom), 081320042957 (Saleh)


Nomor : 01/08/Nurul Huda/2009
Lampiran : 1 (satu) Lembar
Perihal : Mohon Bantuan


Kepada Yth,
Bapak/Ibu/saudara/i
Dan Para Dermawan
Di
Tempat

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT sholawat serta salam semoga dilimpahkan kepada junjunan Nabi besar Muhammad SAW.
Dalam rangka membina dan mengembangkan ukhuwah Islamiyah serta untuk memakmurkan mesjid, dengan hal ini semakin bertambahnya jema’ah. Oleh karena itu atas nama jemaah Masjid Nurul Huda akan membangun/merenopasi Masjid Nurul Huda.
Kami mengetuk hati Bapak/Ibu/Saudara/I dan para dermawan untuk sudi kiranya menyisihkan sebagian hartanya untuk disumbangkan demi terwujudnya pembangunan.renovasi Masjid Nurul Huda.
Dengan anggaran biaya Rp/ 90.000.000,- (sembilan puluh juta rupiah), dana yang tersedia hasil swadaya masyarakat Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) untuk mempercepat penyelesaian, kami mengharapkan keridhoayan infak,sodaqoh dari Bapak/Ibu/Saudara/I dan para dermawan.
Hanya kepada Allah kami memohon semoga segala kebaikan diterima sebagai amal soleh serta dibalas dengan balasan yang setimpal. Teriring do’a Jazaa Kumulloohu Khoiron Katsiiron.



PROPOSAL
PANITIA RENOVASI MESJID“NURUL HUDA”



بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ


1. PENDAHULUAN

Misi utama yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW. Adalah membangun manusia yang berakhlak mulia sesuai dengan risalah beliau dan agama Islam sebagai “rahmatan lil ‘alamin”

Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau segera meletakkan dasar-dasar masyarakat Islam. Yang pertama adalah mendirikan masjid untuk tempat berkumpul dan bertemu disamping untuk beribadah kepada Allah. Di masjid dapat pula dipakai tempat untuk mengadili perkara, jual beli dan lain-lain. Masjid berperan besar mempersatukan umat yang terdiri dari berbagai suku.

Hal ini sangat penting untuk disadari dan dihayati oleh setiap pribadi muslim dan umat islam sehingga mampu berperan secara kreatif dan kontributif dalam proses globalisasi dunia menuju peradaban global. Lebih-lebih bagi umat islam yang hidup di desa Karangwidoro yang mengalami proses pembauran sosial-budaya dalam lingkungan masyarakat yang plural dengan berbagai latar belakang etnis, ras, kultur dan agama.

Pembauran sosial-budaya dari berbagai unsur masyarakat yang mengandung perbedaan yang mencolok, terutama dalam aspek agama dan budaya, seringkali menimbulkan konflik nilai yang melahirkan orang-orang yang hidup dalam keterasingan dan mengalami kepribadian yang terpecah dengan berbagai bentuk menifestasinya. Situasi seperti ini juga menimbulkan kesenjangan budaya yang mengancam keharmonisan keluarga.

Untuk mengurangi berbagai ekses dan efek sampingan yang diakibatkan oleh pembauran sosial-budaya yang tidak terelakkan itu, Masyarakat Islam di desa Karangwidoro menyadari perlunya sebuah lembaga “sosial keagamaan” sebagai wahana dan sarana pembinaan ketahanan mental untuk memelihara keimanan dan kepribadian ummat Islam. Lembaga yang tepat itu adalah sebuah Masjid yang diharapkan memiliki multifungsi, tidak hanya sebagai tempat ibadah, melainkan juga sebagai wahana pendidikan, sosial dan budaya untuk memelihara nilai-nilai ke-Islaman. Dengan demikian diharapkan masyarakat Islam di desa Karangwidoro tersebut tidak larut begitu saja dalam proses pembauran sosial-budaya yang tidak terarah.


II. DASAR RELIGIUS


Membangun Masjid termasuk perintah agama, Rosulullah SAW menganjurkan ummatnya untuk membangun Masjid dimana mereka berada. Rosulullah bersabda dalam hadisnya “barang siapa membangun Masjid di dunia, maka Allah akan membangunkan sebuah istana di surga”.

Dari hadist ini dapat dipahami bahwa membangun masjid itu bukan sekedar memelihara dan melestarikan warisan, melainkan juga merupakan perintah baik dari Allah maupun dari Rosulnya. Dalam Al-Qur’an diisyaratkan betapa pentingnya sebuah Masjid sebagai ajang berfastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan).

Firman Allah :

“Hanyalah orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid Alllah adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat, serta tetap mendirikan Shalat, mengeluarkan Zakat dan tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah. Mereka itulah orang-orang yang diharapkan untuk menjadi orang-orang yang mendapat petunjuk.” (At Taubat :18).

Allah juga berfirman

“maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya ditepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia kedalam neraka jahannam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang Dzalim” (At-Taubat : 109).

Rasulullah SAW mengingatkan kita bahwa sebaik-baiknya shalat ialah yang dikerjakan dirumah kecuali shalat fardu। Shalat fardu lebih utama dikerjakan di Masjid secara berjemaah। Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya Masjid sebagai sarana ibadah। Orang-orang yang terikat hatinya dengan Masjid termasuk golongan yang akan mendapatkan perlindungan Allah dihari kiamat।, demikian dijelaskan Nabi Muhammad SAW dalam salah satu sabdanya. Pembangunan Masjid termasuk salah satu amal jariah yang akan mengalirkan pahala terus menerus bagi orang-orang yang membangunnya. Karena hal ini termasuk salah satu dari tiga amal yang dinyatakan oleh Rasulullah SAW:“Apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara, yaitu: sadaqah jariah, ilmu yang bermanfa’at dan anak yang shaleh yang mendoakan orang tuanya.” (HR. Muslim).

Bagi mereka yang membangun Masjid atau menginfaqkan hartanya untuk pembangunan Masjid termasuk dalam kategori firman Allah:

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir terdapat seratus biji. Allah melipat-gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui“ (Al-Baqarah:261).


A Latar Belakang


Arus globalisasi yang merambah berbagai penjuru dunia, telah menciptakan kemudahan-kemudahan hidup bagi manusia, sekaligus membawa dampak buruk berupa penetrasi budaya tertentu yang dominan terhadap budaya lain. Kemudahan hidup yang dirasakan masyarakat diantaranya kemudahan akses informasi yang didukung oleh teknologi informasi yang memungkinkan akses informasi dari berbagai pelosok dunia dalam waktu yang sangat cepat, sehingga sekat-sekat jarak dan batas teritorial dirasakan semakin berkurang.

Di sisi lain, derasnya arus informasi ini telah menciptakan sebuah kondisi sosial anomali yang ditandai oleh pergeseran nilai-nilai budaya setempat yang semakin termarginalisasi, akibat hegemoni budaya asing. Eksesnya di antaranya berupa perkembangan sifat permisif terhadap perilaku menyimpang, hedonisme, pragmatisme, dan sikap cinta dunia yang berlebihan di kalangan masyarakat, yang pada gilirannya mempengaruhi nilai keyakinan religius masyarakat setempat.

Masyarakat yang tinggal di bantaran kali kode adalah tipikal masyarakat urban yang potensial mengalami dampak buruk dari hegemoni budaya asing tersebut. Beragamnya latar belakang budaya, agama, dan tingkat sosial ekonomi masyarakatnya berpotensi melahirkan konflik, yang berpengaruh terhadap kerukunan kehidupan masyarakat. Rasio Jumlah penduduk muslim dan non muslim hampir sebanding.. Untuk tujuan tersebut, kami, pengurus Yayasan Al-Janah, sebuah yayasan yang dibentuk oleh masyarakat muslim di wilayah ini, merencanakan membangun sebuah mesjid yang dapat mewadahi semua aktivitas tersebut di atas.

B. Peran Masjid di Tengah Umat


Ketika Rasullullah SAW dan para sahabatnya hijrah dari Mekah ke Madinah, beliau singgah di suatu tempat yang bernama Quba, di sana beliau membangun sebuah masjid yang diberi nama Masjid Quba. Demikian juga, saat sampai di Madinah, beliau membangun Masjid Nabawi. Ini menyiratkan bahwa masjid bagi kaum muslimin memiliki kedudukan yang penting.

Arti pentingnya masjid bagi kaum muslimin dapat dijabarkan sebagai berikut.

  1. Masjid sebagai sarana pembina iman bagi kaum muslimin.

Di zaman Rasulullah SAW, masjid menjadi sarana untuk memperkokoh iman para sahabatnya. Di samping itu, masjid juga digunakan para sahabat sebagai sarana peribadatan dan mengkaji ajaran Islam.

Allah berfirman :

“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah adalah orang-orang yang beriman kepada Allah, dan hari kemudian, serta tetap mendirikan Shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut ( kepada siapa pun ) selain Allah. Maka , merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk” ( QS. At-Taubah : 18 )

  1. Masjid sebagai sarana memperkuat Ukhuwah Islamiyah.

Masjid merupakan tempat berkumpulnya anggota masyarakat untuk dibina menjadi masyarakat yang islami. Dengan pembinaan masyarakat melalui masjid itulah kaum muslimin menjadi terpaut hatinya kepada masjid , dan membuat kaum muslimin menjadi hati-hati agar tidak melakukan kesalahan, serta tidak berani menyimpang dari kebenaran.

  1. Majid sebagai sarana Tarbiyah.

Masjid sebagai tempat tarbiyah atau pendidikan, dan pembinaaan kaum muslimin. Dengan adanya tarbiyah, insya Allah kaum muslimin memiliki wawasan dan penguasaan ajaran Islam yang baik, sehingga dapat membedakan yang hak dan yang batil

C. Visi


Dengan membangun mesjid, dan menggunakan mesjid itu sesuai dengan syariat, Insya Allah akan terwujud masyarakat muslim yang berakhlak mulia ( Akhlakul Karimah ), sejahtera lahir dan batin dalam ikatan Ukhuwah Islamiyah, sehingga dapat menjadi rahmatan lil a’lamin.

D. Misi


Untuk mencapai tujuan tersebut, kami memiliki misi sebagai berikut.

1. Memberikan bimbingan dan pembinaan pada jamaah untuk meningkatkan pemahaman agama Islam

2. Memberikan pelayanan untuk keperluan-keperluan ritual agama Islam.

3. Membina jamaah agar memiliki akhlakul karimah.

4. Mengupayakan kesejahteraan jamaah baik secara material maupun spiritual.

5. Menfasilitasi jamaah dalam kajian-kajian keislaman, terutama menyangkut isu-isu kontemporer untuk menangkal pengaruh buruk budaya asing yang tidak sesuai.

E. Nama Mesjid serta Denah Lokasi


Mesjid yang akan direnovasi/Bangun adalah Masjid Nurul Huda, yang terletak di wilayah RT. 01 , RW.06, Kampung Cibango, Desa Bojong, Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat 44175


Tujuan
Tujuan dari proposal ini tidak lain adalah mengajak para muhsinin untuk berlomba-lomba dalam kebaikan dengan menginfaqkan dan mensodaqohkan sebagian hartanya untuk digunakan pembangunan Masjid Nurul Huda.

SUSUNAN PANITIA
RENOVASI MESJID NURUL HUDA

Pelindung : Kepala Desa Bojong
Penasehat I : Ketua MUI Desa Bojong
Penasehat II : Sesepuh Mesjid
Penanggung Jawab I : Ketua DKM
Penanggung Jawab II : Ketua RW 13

Panitia Pelaksana
Ketua : makmur S.Pd
Sekretaris : Masum
Bendahara : E. Ahdan

Bidang-Bidang
Dana/Humas : Iib Ibrahim
Anggota - Nonos
- Odin
- Dede
- Palah
- Majid
- Madin
- Aceng Nawapi S
Pengawas : Eron S

ANGGARAN BIAYA
RENOVASI MESJID NURUL HUDA

No. Jenis Pekerjaan
1. Dana yang terkumpul Rp. 7.000.000,-
2. Pekerjaan Pelaksanaan
- Pekerjaan Tanah Rp. 7.000.000,-
- Pekerjaan Pondasi Rp. 8.000.000,-
- Pekerjaan beton struktur Rp. 25.000.000,-
- Pekerjaan dingding & pelesteran Rp. 16.000.000,-
- Pekerjaan kusen Rp. 6.000.000,-
- Pekerjaan atap Rp. 4.000.000,-
- Pekerjaan lantai keramik Rp. 5.500.000,-
- Pekerjaan Lemburan Rp. 3.500.000,-
- Pekerjaan lemburan lain-lain Rp. 8.000.000,-
Jumlah 90.000.000,-

F. Penutup

Demikianlah Proposal Penggalangan Infaq dan sodaqoh untuk renovasi Masjid Nurul Huda, ini kami sampaikan kepada para Muhsinin agar kiranya mendapat perhatian dan tanggapan yang positif. Dan akhirnya hanya kepada Allah-lah kami memohon agar dimudahkan dalam segala urusan kami. Sesungguhnya hanya Dia-lah dzat yang Maha Pemberi Taufiq dan Maha Pemberi Petunjuk. Dan atas bantuan dan partisipasi dari para muhsinin kami mengucapkan Jazakallah khairan katsiraa. Semoga Shalawat dan Salam selalu tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad dan keluarganya, para sahabatnya dan bagi orang-orang yang senantiasa mengikuti sunnahnya dengan benar hingga hari kiamat.


PANITIA RENOVASI MESJID NURUL HUDA



INFAQ dan SHODAQOH BISA DISAMPAIKAN LANGSUNG
ATAU MELALUI

BANK BRI
NO. REKENING 077101007526533
atas nama Aceng Nawapi Saleh

BNI SYARIAH
No REKENING: 0113582683
atas nama Aceng Nawapi Saleh














Jumat, 23 Januari 2009

Zakat, Sodaqoh

Perbedaan Zakat Maal, , Sodaqoh, Zakat Profesi, Zakat Emas, Zakat Penghasilan, Tabungan

Zakat dan shadaqah sebenarnya dua istilah yang sering saling mengisi. Karena zakat itu sering disebut juga dengan shadaqah dan sebaliknya kata shadaqah sering bermakna zakat. Termasuk juga istilah infaq. Jadi istilah zakat, infaq dan shadaqah memang istilah yang berbeda penyebutan, namun pada hakikatnya memiliki makna yang kurang lebih sama. Terutama yang paling sering terjadi adalah antara istilah zakat dengan shadaqah.

1. Makna Zakat

Secara bahasa, zakat itu bermakna : [1] bertambah, [2] suci, [3] tumbuh [4] barakah. (lihat kamus Al-Mu`jam al-Wasith jilid 1 hal. 398). Makna yang kurang lebih sama juga kita dapati bila membuka kamus Lisanul Arab.

Sedangkan secara syara`, zakat itu bermakna bagian tertentu dari harta yang dimiliki yang telah Allah wajibkan untuk diberikan kepada mustahiqqin (orang-orang yang berhak menerima zakat). Lihat Fiqhuz Zakah karya Syeikh Dr. Yusuf Al-Qaradawi jilid 1 halaman 38.

Kata zakat di dalam Al-Quran disebutkan 32 kali. 30 kali dengan makna zakat dan dua kali dengan konteks dan makna yang bukan zakat. 8 dari 30 ayat itu turun di masa Mekkah dan sisanya yang 22 turun di masa Madinah. (lihat kitab Al-Mu`jam Al-Mufahras karya Ust. Muhammad fuad Abdul Baqi).

Sedangkan An-Nawawi pengarang kitab Al-Hawi mengatakan bahwa istilah zakat adalah istilah yang telah dikenal secara `urf oleh bangsa Arab jauh sebelum masa Islam datang. Bahkan sering disebut-sebut dalam syi`ir-syi`ir Arab Jahili sebelumnya.

Hal yang sama dikemukakan oleh Daud Az-Zhahiri yang mengatakan bahwa kata zakat itu tidak punya sumber makna secara bahasa. Kata zakat itu merupakan `urf dari syariat Islam.

2. Makna Shadaqah

Kata shadaqah makna asalnya adalah tahqiqu syai`in bisyai`i, atau menetapkan / menerapkan sesuatu pada sesuatu. Dan juga berasal dari makna membenarkan sesuatu.

Meski lafaznya berbeda, namun dari segi makna syar`i hampir-hampir tidak ada perbedaan makna shadaqah dengan zakat. Bahkan Al-quran sering menggunakan kata shadaqah dalam pengertian zakat.

Allah SWT berfirman :

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah :103).

“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (QS.At-Taubah : 58).

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana .” (QS. At-Taubah : 60).

Rasulullah SAW dalam hadits pun sering menyebut shadaqah dengan makna zakat. Mislanya hadits berikut :

Harta yang kurang dari lima wasaq tidak ada kewajiban untuk membayar shadaqah (zakat)”. (HR. Bukhari Muslim).

Begitu juga dalam hadits yang menceritakan mengiriman Muaz bin Jabal ke Yaman, Rasulullah SAW memberi perintah,”…beritahu mereka bahwa Allah mewajibkan mereka mengeluarkan shadaqah (zakat) dari sebagian harta mereka…”.

Sehingga Al-Mawardi mengatakan bahwa shadaqah itu adalah zakat dan zakat itu adalah shadaqah. Namanya berbeda tapi maknanya satu. (lihat Al-ahkam as-Sulthaniyah bab 11).

Bahkan orang yang menjadi Amil zakat itu sering disebut dengan Mushaddiq, karena dia bertugas mengumpulkan shadaqah (zakat) dan membagi-bagikannya.

Kata shadaqah disebutkan dalam Al-Quran sebanyak 12 kali yang kesemuanya turun di masa Madinah.

3. Beda Zakat dengan Shadaqah


Hal yang membedakan makna shadaqah dengan zakat hanyalah masalah `urf, atau kebiasaan yang berkembang di tengah masyarakat. Sebenarnya ini adalah semacam penyimpangan makna. Dan jadilah pada hari ini kita menyebut kata shadaqah untuk yang bersifat shadaqah sunnah / tathawwu`. Sedangkan kata zakat untuk yang bersifat wajib. Padahal ketika Al-Quran turun, kedua kata itu bermakna sama.

Hal yang sama juga terjadi pada kata infaq yang juga sering disebutkan dalam Al-Quran, dimana secara kata infaq ini bermakna lebih luas lagi. Karena termasuk di dalamnya adalah memberi nafkah kepada istri, anak yatim atau bentuk-bentuk pemberian yang lain. Dan secara `urf, infaq pun sering dikonotasikan dengan sumbangan sunnah.

4. Zakat Mal, Zakat Profesi, Zakat Emas dan Zakat Tabungan

Mal artinya adalah harta benda, sehinga kalau kita sebut zakat mal, maka konotasinya adalah semua jenis harta yang kita miliki. Sehingga ada yang mengakatan bahwa istilah zakat mal adalah istilah yang digunakan untuk membedakan zakat fitrah dengan zakat-zakat lainnya. Jadi zakat profesi, emas, tabungan dan lainnya bisa dmasukan ke dalam kelompok zakat mal.

a. Zakat Profesi
Yang dikeluarkan zakatnya adalah semua pemasukan dari hasil kerja dan usaha. Bentuknya bisa berbentuk gaji, upah, honor, insentif, mukafaah, persen dan sebagainya. Baik sifatnya tetap dan rutin atau bersifat temporal atau sesekali.

Namun menurut pendapat yang lebih kuat, yang dikeluarkan adalah pemasukan yang telah dikurangi dengan kebutuhan pokok seseorang. Besarnya bisa berbeda-beda antara satu dan lainnya.

Pendapat yang lain mengatakan bahwa zakat itu diambil dari jumlah pemasukan kotor sebelum dikurangi dengan kebutuhan pokoknya.

Kedua pendapat ini memiliki kelebihan dan kekuarangan. Buat mereka yang pemasukannya kecil dan sumber penghidupannya hanya tergantung dari situ, sedangkan tanggungannya lumayan besar, maka pendapat pertama lebih sesuai untuknya. Pendapat kedua lebih sesuai bagi mereka yang memiliki banyak sumber penghasilan dan rata-rata tingkat pendapatannya besar sedangkan tanggungan pokoknya tidak terlalu besar.

Nishab zakat profesi mengacu pada zakat pertanian yaitu seharga dengan 520 kg beras. Yaitu sekitar Rp. 1.300.000,-.

Nishab ini adalah jumlah pemasukan dalam satu tahun. Artinya bila penghasilan seseorang dikumpulkan dalam satu tahun bersih setelah dipotong dengan kebutuhan pokok dan jumlahnya mencapai Rp. 1.300.000,- maka dia sudah wajib mengeluarkan zakat profesinya. Ini bila mengacu pada pendapat pertama. Dan bila mengacu kepada pendapat kedua, maka penghasilannya itu dihitung secara kotor tanpa dikurangi dengan kebutuhan pokoknya. Bila jumlahnya dalam setahun mencapai Rp. 1.300.000,-, maka wajiblah mengeluarkan zakat.

Zakat profesi dibayarkan saat menerima pemasukan karena diqiyaskan kepada zakat pertanian yaitu pada saat panen atau saat menerima hasil.

Nishab zakat profesi adalah 2,5 % dari hasil kerja atau usaha. Besarnya diqiyaskan dengan zakat perdagangan.


b. Zakat Emas
Emas dan perak yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah yang berbentuk simpanan. Sedangkan bila berbentuk perhiasan yang sering dipakai atau dikenakan, maka tidak termasuk yang wajib dikeluarkan zakatnya.

Karena umumnya harga emas stabil dibandingkan dengan mata uang, banyak orang yang menyimpan hartanya dalam bentuk emas. Apabila emas ini dijadikan bentuk simpanan, maka wajib dikeluarkan zakatnya bila telah mencapai nishab dan haul.

Bila seseorang memiliki simpanan emas seberat 85 gram atau lebih, maka jumlah itu telah mencapai batas minimal untuk terkena kewajiban membayar zakat emas. Yang menjadi ukuran adalah beratnya, sedangkan bentuknya meskipun mempengaruhi harga, dalam masalah zakat tidak termasuk yang dihitung.

Sedangkan nishab perak adalah 595 gram. Jadi bila simpanannya berbentuk perak dan beratnya mencapai jumlah itu atau lebih, maka telah wajib dikeluarkan zakatnya. Bagaimana bila emas 85 gram itu terpisah-pisah ? Sebagian sering digunakan dan sebagian lain disimpan ? Bila jumlah yang selalu menjadi simpanan ini tidak mencapai nisabnya, maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Karena yang wajib hanyalah yang benar-benar menjadi simpanan. Sedangkan yang dipakai sehari-hari tidak terkena kewajiban zakat. Meskipun bila digabungkan mencapai 85 gram.

Simpanan berbentuk emas bila telah dimiliki selama masa satu tahun qamariyah, barulah wajib dikeluarkan zakatnya. Yang menjadi ukuran adalah awal dan akhir masa satu tahun itu.

Sedangkan bila ditengah-tengah masa itu emas itu bertambah atau berkurang dari jumlah tersebut, tidak termasuk yang diperhitungkan.

Sebagai contoh, pada tanggal 1 Sya`ban 1422 Ahmad memiliki emas seberat 100 gram. Maka pada 1 Sya`ban 1423 atau setahun kemudian, Ahmad wajib mengeluarkan zakat simpanan emasnya itu. Meskipun pada bulan Ramadhan, emas itu pernah berkurang jumlahnya menjadi 25 gram, namun sebulan sebelum datangnya bulan Sya`ban 1423, Ahmad membeli lagi dan kini jumlahnya mencapai 200 gram.

Besarnya zakat yang harus dikeluarkan adalah 2,5 % dari berat emas yang terakhir dimiliki. Jadi bila pada 1 Sya`ban 1423 itu emas Ahmad bertambah menjadi 200 gram, zakat yang harus dikeluarkan adalah 200 x 2,5 % = 5 gram.


c. Zakat Uang Tabungan
Zakat tabugnan adalah zakat harta yang disimpan baik dalam bentuk tunai, rekening di Bank, atau bentuk yang lain. Harta ini tidak digunakan untuk mendapatkan penghasilan, tetapi sekedar untuk simpanan. Bila nilainya bertambah lantaran bunga di Bank, maka bunganya itu bukan hak miliknya, sehingga bunga itu tidak termasuk yang wajib dikeluarkan zakatnya. Bunga itu sendiri harus dikembalikan kepada kepentingan masyarakat banyak.

Sedangkan bila simpanan itu berbentuk rumah, kendaraan atau benda lain yang disewakan atau menghasilkan pemasukan, maka masuk dalam zakat investasi. Dan bila uang itu dipnjamkan ke pihak lain sebagai saham dan dijadikan modal usaha, maka masuk dalam zakat perdagangan.

Sedangkan bila uang itu dipinjamkan kepada orang lain tanpa bunga (piutang) dan juga bukan bagi hasil, maka tetap wajib dikeluarkan zakatnya meski secara real tidak berada di tangan pemiliknya. Kecuali bila uang tersebut tidak jelas kedudukannya, apakah masih mungkin dikembalikan atau tidak, maka uang itu tidak perlu dikeluarkan zakatnya. Karena kepemilikannya secara real tidak jelas lagi. Meski secara status masih miliknya. Tapi kenyataannya pinjaman itu macet dan tidak jelas apakah akan kembali atau tidak.

Batas nishab zakat tabungan adalah seharga emas 85 gram. Jadi bila harga emas sekarang ini Rp. 90.000,-, maka nisab zakat tabungan adalah Rp. 7.650.000,-. Bila tabungan kita telah mencapai jumlah tersebut, maka sudah wajib untuk dikeluarkan zakatnya.

Untuk membayar zakat tabungan, diperlukan masa kepemilikan selama setahun hijriyah terhitung sejak memiliki jumlah lebih dari nishab.

Besarnya zakat yang harus dikeluarkan adalah 2,5 % dari saldo terakhir. Dan bila uang itu berupa rekening di bank konvensional, maka saldo itu harus dikurangi dulu dengan bunga yang diberikan oleh pihak bank. Karena bunga itu bukan hak pemilik rekening, sehingga pemilik rekening tidak perlu mengeluarkan zakat bunga.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

Zakat dan Sodaqoh
Zakat menurut bahasa artinya adalah “berkembang” (an namaa`) atau “pensucian” (at tath-hiir). Adapun menurut syara’, zakat adalah hak yang telah ditentukan besarnya yang wajib dikeluarkan pada harta-harta tertentu (haqqun muqaddarun yajibu fi amwalin mu’ayyanah) (Zallum, 1983 : 147).
Dengan perkataan “hak yang telah ditentukan besarnya” (haqqun muqaddarun), berarti zakat tidak mencakup hak-hak –berupa pemberian harta– yang besarnya tidak ditentukan, misalnya hibah, hadiah, wasiat, dan wakaf. Dengan perkataan “yang wajib (dikeluarkan)” (yajibu), berarti zakat tidak mencakup hak yang sifatnya sunnah atau tathawwu’, seperti shadaqah tathawwu’ (sedekah sunnah). Sedangkan ungkapan “pada harta-harta tertentu” (fi amwaalin mu’ayyanah) berarti zakat tidak mencakup segala macam harta secara umum, melainkan hanya harta-harta tertentu yang telah ditetapkan berdasarkan nash-nash syara’ yang khusus, seperti emas, perak, onta, domba, dan sebagainya.
Bagaimana kaitan atau perbedaan definisi zakat ini dengan pengertian infaq dan shadaqah? Al Jurjani dalam kitabnya At Ta’rifaat menjelaskan bahwa infaq adalah penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan (sharful maal ilal haajah) (Al Jurjani, tt : 39). Dengan demikian, infaq mempunyai cakupan yang lebih luas dibanding zakat. Dalam kategorisasinya, infak dapat diumpamakan dengan “alat transportasi” –yang mencakup kereta api, mobil, bus, kapal, dan lain-lain– sedang zakat dapat diumpamakan dengan “mobil”, sebagai salah satu alat transportasi.
Maka hibah, hadiah, wasiat, wakaf, nazar (untuk membelanjakan harta), nafkah kepada keluarga, kaffarah (berupa harta) –karena melanggar sumpah, melakukan zhihar, membunuh dengan sengaja, dan jima’ di siang hari bulan Ramadhan–, adalah termasuk infaq. Bahkan zakat itu sendiri juga termasuk salah satu kegiatan infak. Sebab semua itu merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan pihak pemberi maupun pihak penerima.
Dengan kata lain, infaq merupakan kegiatan penggunaan harta secara konsumtif –yakni pembelanjaan atau pengeluaran harta untuk memenuhi kebutuhan– bukan secara produktif, yaitu penggunaan harta untuk dikembangkan dan diputar lebih lanjut secara ekonomis (tanmiyatul maal).
Adapun istilah shadaqah, maknanya berkisar pada 3 (tiga) pengertian berikut ini :
Pertama, shadaqah adalah pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima shadaqah, tanpa disertai imbalan (Mahmud Yunus, 1936 : 33, Wahbah Az Zuhaili, 1996 : 919). Shadaqah ini hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Karena itu, untuk membedakannya dengan zakat yang hukumnya wajib, para fuqaha menggunakan istilah shadaqah tathawwu’ atau ash shadaqah an nafilah (Az Zuhaili 1996 : 916). Sedang untuk zakat, dipakai istilah ash shadaqah al mafrudhah (Az Zuhaili 1996 : 751). Namun seperti uraian Az Zuhaili (1996 : 916), hukum sunnah ini bisa menjadi haram, bila diketahui bahwa penerima shadaqah akan memanfaatkannya pada yang haram, sesuai kaidah syara’ :
“Al wasilatu ilal haram haram”
“Segala perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram pula”.
Bisa pula hukumnya menjadi wajib, misalnya untuk menolong orang yang berada dalam keadaan terpaksa (mudhthar) yang amat membutuhkan pertolongan, misalnya berupa makanan atau pakaian. Menolong mereka adalah untuk menghilangkan dharar (izalah adh dharar) yang wajib hukumnya. Jika kewajiban ini tak dapat terlaksana kecuali denganshadaqah, maka shadaqah menjadi wajib hukumnya, sesuai kaidah syara’ :
“ Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib”
“Segala sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tak terlaksana sempurna, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya”
Dalam ‘urf (kebiasaan) para fuqaha, sebagaimana dapat dikaji dalam kitab-kitab fiqh berbagai madzhab, jika disebut istilah shadaqah secara mutlak, maka yang dimaksudkan adalah shadaqah dalam arti yang pertama ini –yang hukumnya sunnah– bukan zakat.
Kedua, shadaqah adalah identik dengan zakat (Zallum, 1983 : 148). Ini merupakan makna kedua dari shadaqah, sebab dalam nash-nash syara’ terdapat lafazh “shadaqah” yang berarti zakat. Misalnya firman Allah SWT :
“Sesungguhnya zakat-zakat itu adalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat …” (QS At Taubah : 60)
Dalam ayat tersebut, “zakat-zakat” diungkapkan dengan lafazh “ash shadaqaat”. Begitu pula sabda Nabi SAW kepada Mu’adz bin Jabal RA ketika dia diutus Nabi ke Yaman :
“…beritahukanlah kepada mereka (Ahli Kitab yang telah masuk Islam), bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka, dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada hadits di atas, kata “zakat” diungkapkan dengan kata “shadaqah”.
Berdasarkan nash-nash ini dan yang semisalnya, shadaqah merupakan kata lain dari zakat. Namun demikian, penggunaan kata shadaqah dalam arti zakat ini tidaklah bersifat mutlak. Artinya, untuk mengartikan shadaqah sebagai zakat, dibutuhkan qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa kata shadaqah –dalam konteks ayat atau hadits tertentu– artinya adalah zakat yang berhukum wajib, bukan shadaqah tathawwu’ yang berhukum sunnah. Pada ayat ke-60 surat At Taubah di atas, lafazh “ash shadaqaat” diartikan sebagai zakat (yang hukumnya waj0

HUKUM ZAKAT MENURUT SYARI’AT ISLAM

Zakat sebagai ibadah maliyah sudah disepakati wajib hukumnya baik berdasarkan nash al-Qur’an maupun nash al-Hadits. Zakat merupakan ibadah maliyah yang harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan dalil qath’i, karena pada asalnya di dalam ibadah bathal sehingga ada dalil yang menunjukkan pada perintah (al-Ashl fî al-Ibâdah al-Buthlân hattâ yaqûma dalîl ala al-Amr) sementara perintah untuk menunaikan zakat bersumber kepada al-Qur’an dan al-Hadits. Wajib menurut kerangka jumhur ulama adalah sesuatu yang dituntut oleh agama untuk dikerjakan, sehingga berdosalah bagi orang yang meninggalkannya. Hukum wajib didasarkan pada nash al-Qur’an yang secara eksplisit menunjukkan perintah dan perintah di dalam ibadah berarti wajib hukumnya, sesuai dengan kaidah ushul fiqh bahwa “asal dari perintah menunjukkan wajib”. Para fuqaha menjelaskan wajib zakat kepada beberapa kriteria : Pertama, dari segi waktu, hukum Zakat adalah wajib pelaksanaannya termasuk kategori wajib mudayyaq, yaitu wajib di mana waktu pelaksanaannya dan penunaiannya dibatasi oleh waktu seperti zakat fitrah, sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas berkata : “Bahwa Rasulullah sudah mewajibkan zakat fitrah yang fungsinya untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perkataan keji dan kotor yang dilakukannya sewaktu mereka saum dan untuk menjadi makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikan zakat fitrah itu sebelum shalat Idul Fitri, maka ia diterima sebagai zakat dan barang siapa yang menunaikan zakat fitrah sesudah shalat Idul fitri, maka pemberiannya itu diterima sebagai shadaqah biasa”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Kedua, dari segi tertentu atau tidaknya kewajiban yang dituntut, zakat adalah hukumnya termasuk kategori wajib mu’ayyan yaitu kewajiban yang dituntut hanya satu saja, tidak ada pilihan terhadap kewajiban lainnya. Zakat sebagai pilihan satu-satunya yang harus ditunaikan oleh setiap muslim.
Ketiga, dari segi ukuran dan kriteria, zakat termasuk wajib yang sudah ada ketentuan dari agama tentang ukuran. Agama telah menetapkan jenis-jenis harta benda yang terkena zakat, nishab-nya (jumlah harta benda yang terkena zakat), haul-nya (jatuh tempo mengeluarkan zakat) dan juga kadarnya (berapa persen harta benda yang dizakati), seperti untuk zakat emas nishab-nya. Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bahwa nishab emas adalah 20 Misqal setara dengan 85 gr. dan kadar zakat yang harus dikeluarkan 2,5 %, sebagaimana hadits dari Jarir berkata : Rasulullah bersabda : “Tak ada kewajibanmu sesuatu apapun juga, kecuali hingga kamu mempunyai persediaan emas 20 dinar. Apabila engkau mempunyai emas 20 dinar dan sudah sampai setahun, maka zakatnya ½ dinar, maka cara menghitung zakatnya seperti itu.” (HR. Ibn Hazm). Jadi dari hadits di atas diketahui pula zakat yang dikeluarkan itu sebanyak 2, 5 %.
Keempat, dari segi subjek atau siapa yang wajib melakukannya, wajib zakat termasuk wajib ‘aini, yaitu wajib yang ditunjukkan kepada siapa secara individu, sehingga siapa pun yang meninggalkan kewajiban itu berdosa dan akan mendapat hukuman. Hadits menjelaskan bahwa : “Ketika seorang perempuan (bersama anaknya) datang kepada Nabi saw., dan di tangan anaknya ada sepasang gelang emas. Nabi bersabda kepadanya: “Sudahkah engkau berikan zakatnya?”. Orang itu menjawab :”Tidak”. Nabi bersabda kepadanya: “Apakah engkau senang kalau Allah memberimu gelang dari api kelak di hari Kiamat?”. Kemudian perempuan itu melepas gelangnya dan menyerahkannya kepada Nabi saw. Seraya berkata: “Ini hak (untuk) Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Abu daud)
Bagi muslim yang menunaikan zakat dengan benar maka ia akan mendapatkan pahala dan perlindungan dari Allah. Adapun pahala (targib) bagi yang menunaikan zakat dapat dilihat dari penjelasan baik al-Qur’an maupun al-Hadits. Pertama, pertolongan dari Allah. Bagi muslim yang menunaikan zakat berarti secara kemanusiaan memperhatikan kondisi sesama muslim, maka Allah akan memberikan pertolongan kepada muslim (muzakki) baik di dunia maupun di akhirat kelak, tersebut dalam hadits bahwa Rasulullah bersabda : “Dan Allah akan menolong seorang hamba yang selalu menolong muslim saudaranya” (HR. Muttafaq alaih). Kedua, mencapai kebaikan tertinggi di sisi Allah. Muslim yang taat dan melaksanakan perintah Allah dengan cara membayar Zakat maka ia akan mencapai kebaikan tertinggi, “Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kamu menginfakkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu infakkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (QS. Ali Imran 92). Ketiga, pencapaian kehormatan di sisi Allah. Muzakki akan mencapai kehormatan baik di dunia maupun di akhirat karena menjalankan fungsi kekhalifahannya dengan baik, sehingga derajatnya ditinggikan, dalam hadits dinyatakan : Bahwa Rasulullah bersabda : “Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah dan sebaik-baiknya pemberian di waktu ia berkecukupan. Dan siapa yang menjaga kehormatannya maka Allah akan menjaganya serta siapa yang memberi kecukupan kepada orang lain, maka Allah Akan mencukupkannya.”. Keempat, pertemuan dengan Allah di Surga. Jaminan Allah kepada muslim yang menunaikan zakat adalah kebahagiaan sejati ketika bertemu dengan Allah dan ditempatkan di Surga yang abadi, Allah SWT berfirman dalam QS. Ar-Rum: 39: “…dan apa yang kalian berikan berupa zakat untuk mencari dan berharap keridhaan Allah, maka yang berbuat demikian itulah orang-orang yang melipatgandakan pahalanya.” Kemudian dijelaskan dalam hadits dari Abu Hurairah, dia berkata: “Bahwa seorang dari bangsa Arab datang menemui Nabi SAW., dan bertanya, “wahai Rasululullah, tunjukkanlah kepada saya berbagai amal yang jika saya memenuhinya saya akan bisa masuk surga”. Kemudian Rasulullah saw. Bersabda : “Beribadahlah engkau kepada Allah dan jangan menyekutukannya sedikit pun. Lakukanlah shalat dan tunaikanlah zakat fardhu, dan puasalah di bulan Ramadhan”. Rasulullah bersabda lagi, “Demi Allah yang diriku berada pada kekuasaan-Nya, saya tidak akan menambah dari ini. Dan barangsiapa yang hendak melihat calon penghuni surga, lihatlah orang-orang yang memenuhi tuntutan amalaiah ini.” (HR. Al-Bukhari).
Sebaliknya, bagi orang-orang yang mengingkari dan mengabaikan kewajiban zakat, maka bagi mereka mendapat peringatan (takhdir) dan siksaan (azab) di akhirat. Untuk penjelasan lebih rinci tentang ancaman bagi yang tidak patuh pada perintah Allah dijelaskan baik oleh nash al-Qur’an maupun al-Hadits sebagai berikut : pertama, posisi yang tidak menguntungkan yaitu derajat kehinaan dan kebinasaan, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah : 195 : “ Dan belanjakanlah harta bendamu di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. Kedua, dipersamakan dengan perilaku Yahudi dan Nasrani. Para pengingkar dan penolak untuk menunaikan zakat sama seperti halnya orang-orang Yahudi dan Nasrani yang memakan harta dengan cara bathil dan menghalangi orang di jalan Allah. Termaktub di dalam QS. Al-Taubah: 34 : “Hai orang-orang yang beriman ! Sungguh banyak di antara pendeta-pendeta dan rahib-rahib yang memakan harta orang dengan jalan bathil dan merintangi orang dari jalan Allah. Dan orang yang menimbun emas dan perak dan tiada menafkahkannya di jalan Allah, berilah mereka peringatan tentang azab yang pedih.” Ketiga, kedudukannya di neraka sebagai ganjarannya. Peringatan ini dijelaskan dalam hadits bahwa Rasululullah bersabda: “Apakah engkau senang kalau Allah memberimu gelang dari api neraka di hari kiamat ?”. Orang yang tidak menunaikan zakat berarti dia telah melakukan kedzaliman dan kezaliman mengantarkannya kepada api neraka yang tidak ada penolong baginya, sesuai dengan QS. Al-Baqarah: 270 : “apa saja yang kamu infakkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang-orang yang berbuat zalim tidak ada seorang penolong baginya.
Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa zakat hukumnya wajib dan implikasi wajib adalah pahala dan syurga bagi yang menunaikannya dan siksaan dan neraka bagi yang menolak dan mengingkari perintah Allah SWT. Dengan penjelasan singkat tentang kewajiban zakat ini semoga semakin menyadarkan betapa pentingnya menunaikan zakat baik hubungannya dengan Allah, hubungan dengan dirinya, hartanya maupun hubungannya dengan kemanusiaan. Tentu saja kewajiban zakat ini jika dilaksanakan dengan baik akan membangun tatanan kehidupan yang seimbang, harmonis di dunia dan untuk mencapai kebahagiaan hakiki di akhirat kelak (Dr. H. Ahmad Hasan Ridwan, M.Ag.)

HUKUM ZAKAT MENURUT SYARI’AT ISLAM

Zakat sebagai ibadah maliyah sudah disepakati wajib hukumnya baik berdasarkan nash al-Qur’an maupun nash al-Hadits. Zakat merupakan ibadah maliyah yang harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan dalil qath’i, karena pada asalnya di dalam ibadah bathal sehingga ada dalil yang menunjukkan pada perintah (al-Ashl fî al-Ibâdah al-Buthlân hattâ yaqûma dalîl ala al-Amr) sementara perintah untuk menunaikan zakat bersumber kepada al-Qur’an dan al-Hadits. Wajib menurut kerangka jumhur ulama adalah sesuatu yang dituntut oleh agama untuk dikerjakan, sehingga berdosalah bagi orang yang meninggalkannya. Hukum wajib didasarkan pada nash al-Qur’an yang secara eksplisit menunjukkan perintah dan perintah di dalam ibadah berarti wajib hukumnya, sesuai dengan kaidah ushul fiqh bahwa “asal dari perintah menunjukkan wajib”. Para fuqaha menjelaskan wajib zakat kepada beberapa kriteria : Pertama, dari segi waktu, hukum Zakat adalah wajib pelaksanaannya termasuk kategori wajib mudayyaq, yaitu wajib di mana waktu pelaksanaannya dan penunaiannya dibatasi oleh waktu seperti zakat fitrah, sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas berkata : “Bahwa Rasulullah sudah mewajibkan zakat fitrah yang fungsinya untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perkataan keji dan kotor yang dilakukannya sewaktu mereka saum dan untuk menjadi makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikan zakat fitrah itu sebelum shalat Idul Fitri, maka ia diterima sebagai zakat dan barang siapa yang menunaikan zakat fitrah sesudah shalat Idul fitri, maka pemberiannya itu diterima sebagai shadaqah biasa”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Kedua, dari segi tertentu atau tidaknya kewajiban yang dituntut, zakat adalah hukumnya termasuk kategori wajib mu’ayyan yaitu kewajiban yang dituntut hanya satu saja, tidak ada pilihan terhadap kewajiban lainnya. Zakat sebagai pilihan satu-satunya yang harus ditunaikan oleh setiap muslim.
Ketiga, dari segi ukuran dan kriteria, zakat termasuk wajib yang sudah ada ketentuan dari agama tentang ukuran. Agama telah menetapkan jenis-jenis harta benda yang terkena zakat, nishab-nya (jumlah harta benda yang terkena zakat), haul-nya (jatuh tempo mengeluarkan zakat) dan juga kadarnya (berapa persen harta benda yang dizakati), seperti untuk zakat emas nishab-nya. Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bahwa nishab emas adalah 20 Misqal setara dengan 85 gr. dan kadar zakat yang harus dikeluarkan 2,5 %, sebagaimana hadits dari Jarir berkata : Rasulullah bersabda : “Tak ada kewajibanmu sesuatu apapun juga, kecuali hingga kamu mempunyai persediaan emas 20 dinar. Apabila engkau mempunyai emas 20 dinar dan sudah sampai setahun, maka zakatnya ½ dinar, maka cara menghitung zakatnya seperti itu.” (HR. Ibn Hazm). Jadi dari hadits di atas diketahui pula zakat yang dikeluarkan itu sebanyak 2, 5 %.
Keempat, dari segi subjek atau siapa yang wajib melakukannya, wajib zakat termasuk wajib ‘aini, yaitu wajib yang ditunjukkan kepada siapa secara individu, sehingga siapa pun yang meninggalkan kewajiban itu berdosa dan akan mendapat hukuman. Hadits menjelaskan bahwa : “Ketika seorang perempuan (bersama anaknya) datang kepada Nabi saw., dan di tangan anaknya ada sepasang gelang emas. Nabi bersabda kepadanya: “Sudahkah engkau berikan zakatnya?”. Orang itu menjawab :”Tidak”. Nabi bersabda kepadanya: “Apakah engkau senang kalau Allah memberimu gelang dari api kelak di hari Kiamat?”. Kemudian perempuan itu melepas gelangnya dan menyerahkannya kepada Nabi saw. Seraya berkata: “Ini hak (untuk) Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Abu daud)
Bagi muslim yang menunaikan zakat dengan benar maka ia akan mendapatkan pahala dan perlindungan dari Allah. Adapun pahala (targib) bagi yang menunaikan zakat dapat dilihat dari penjelasan baik al-Qur’an maupun al-Hadits. Pertama, pertolongan dari Allah. Bagi muslim yang menunaikan zakat berarti secara kemanusiaan memperhatikan kondisi sesama muslim, maka Allah akan memberikan pertolongan kepada muslim (muzakki) baik di dunia maupun di akhirat kelak, tersebut dalam hadits bahwa Rasulullah bersabda : “Dan Allah akan menolong seorang hamba yang selalu menolong muslim saudaranya” (HR. Muttafaq alaih). Kedua, mencapai kebaikan tertinggi di sisi Allah. Muslim yang taat dan melaksanakan perintah Allah dengan cara membayar Zakat maka ia akan mencapai kebaikan tertinggi, “Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kamu menginfakkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu infakkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (QS. Ali Imran 92). Ketiga, pencapaian kehormatan di sisi Allah. Muzakki akan mencapai kehormatan baik di dunia maupun di akhirat karena menjalankan fungsi kekhalifahannya dengan baik, sehingga derajatnya ditinggikan, dalam hadits dinyatakan : Bahwa Rasulullah bersabda : “Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah dan sebaik-baiknya pemberian di waktu ia berkecukupan. Dan siapa yang menjaga kehormatannya maka Allah akan menjaganya serta siapa yang memberi kecukupan kepada orang lain, maka Allah Akan mencukupkannya.”. Keempat, pertemuan dengan Allah di Surga. Jaminan Allah kepada muslim yang menunaikan zakat adalah kebahagiaan sejati ketika bertemu dengan Allah dan ditempatkan di Surga yang abadi, Allah SWT berfirman dalam QS. Ar-Rum: 39: “…dan apa yang kalian berikan berupa zakat untuk mencari dan berharap keridhaan Allah, maka yang berbuat demikian itulah orang-orang yang melipatgandakan pahalanya.” Kemudian dijelaskan dalam hadits dari Abu Hurairah, dia berkata: “Bahwa seorang dari bangsa Arab datang menemui Nabi SAW., dan bertanya, “wahai Rasululullah, tunjukkanlah kepada saya berbagai amal yang jika saya memenuhinya saya akan bisa masuk surga”. Kemudian Rasulullah saw. Bersabda : “Beribadahlah engkau kepada Allah dan jangan menyekutukannya sedikit pun. Lakukanlah shalat dan tunaikanlah zakat fardhu, dan puasalah di bulan Ramadhan”. Rasulullah bersabda lagi, “Demi Allah yang diriku berada pada kekuasaan-Nya, saya tidak akan menambah dari ini. Dan barangsiapa yang hendak melihat calon penghuni surga, lihatlah orang-orang yang memenuhi tuntutan amalaiah ini.” (HR. Al-Bukhari).
Sebaliknya, bagi orang-orang yang mengingkari dan mengabaikan kewajiban zakat, maka bagi mereka mendapat peringatan (takhdir) dan siksaan (azab) di akhirat. Untuk penjelasan lebih rinci tentang ancaman bagi yang tidak patuh pada perintah Allah dijelaskan baik oleh nash al-Qur’an maupun al-Hadits sebagai berikut : pertama, posisi yang tidak menguntungkan yaitu derajat kehinaan dan kebinasaan, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah : 195 : “ Dan belanjakanlah harta bendamu di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. Kedua, dipersamakan dengan perilaku Yahudi dan Nasrani. Para pengingkar dan penolak untuk menunaikan zakat sama seperti halnya orang-orang Yahudi dan Nasrani yang memakan harta dengan cara bathil dan menghalangi orang di jalan Allah. Termaktub di dalam QS. Al-Taubah: 34 : “Hai orang-orang yang beriman ! Sungguh banyak di antara pendeta-pendeta dan rahib-rahib yang memakan harta orang dengan jalan bathil dan merintangi orang dari jalan Allah. Dan orang yang menimbun emas dan perak dan tiada menafkahkannya di jalan Allah, berilah mereka peringatan tentang azab yang pedih.” Ketiga, kedudukannya di neraka sebagai ganjarannya. Peringatan ini dijelaskan dalam hadits bahwa Rasululullah bersabda: “Apakah engkau senang kalau Allah memberimu gelang dari api neraka di hari kiamat ?”. Orang yang tidak menunaikan zakat berarti dia telah melakukan kedzaliman dan kezaliman mengantarkannya kepada api neraka yang tidak ada penolong baginya, sesuai dengan QS. Al-Baqarah: 270 : “apa saja yang kamu infakkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang-orang yang berbuat zalim tidak ada seorang penolong baginya.
Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa zakat hukumnya wajib dan implikasi wajib adalah pahala dan syurga bagi yang menunaikannya dan siksaan dan neraka bagi yang menolak dan mengingkari perintah Allah SWT. Dengan penjelasan singkat tentang kewajiban zakat ini semoga semakin menyadarkan betapa pentingnya menunaikan zakat baik hubungannya dengan Allah, hubungan dengan dirinya, hartanya maupun hubungannya dengan kemanusiaan. Tentu saja kewajiban zakat ini jika dilaksanakan dengan baik akan membangun tatanan kehidupan yang seimbang, harmonis di dunia dan untuk mencapai kebahagiaan hakiki di akhirat kelak (Dr. H. Ahmad Hasan Ridwan, M.Ag.)

TAHLILAN DALAM TIMBANGAN ISLAM

Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al Qur’an tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah subhanahu wata’ala mencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki.
Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.
Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan “lebih dari sekedarnya” cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.
Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: “wajib”) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bid’ah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan.
Para pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.
Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wata’ala telah berfirman (artinya):
“Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’: 59)
Historis Upacara Tahlilan
Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, di masa para sahabatnya ? dan para Tabi’in maupun Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?
Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala Islam menurut mereka.
Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.
Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam
Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:
Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan disertai dengan do’a-do’a tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.
Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.
Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.
1. Bacaan Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit.
Memang benar Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarakan?
Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)
Juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
“Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)
Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya):
“Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)
Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ
“Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”
Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.
Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).
2. Penyajian hidangan makanan.
Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)
Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)
Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ah –pent).
Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’i?
Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:
اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ
“Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)
Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘a’lam.

WAKTU PELAKSANAAN TAHLILAN
Tahlilan atau upacara selamatan untuk orang yang telah meninggal, biasanya dilakukan pada hari pertama kematian sampai dengan hari ke-tujuh, selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, ke-satu tahun pertama, kedua, ketiga dst. Dan ada juga yang melakukan pada hari ke-1000. Dalam upacara dihari-hari tersebut, keluarga si mayyit mengundang orang untuk membaca beberapa ayat dan surat Al-Quran, tahlil, tasbih, tahmid, shalawat dan do'a. Pahala bacaan Al-Quran dan dzikir tersebut dihadiahkan kepada si mayyit.
Menurut penyelidikan para ahli, upacara tersebut diadopsi oleh para da'i terdahulu dari upacara kepercayaan Animisme, agama Budha dan Hindu. Menurut kepercayaan Animisme, Hinduisme dan Budhisme bila seseorang meninggal dunia maka ruhnya akan datang kerumah pada malam hari mengunjungi keluarganya. Jika dalam rumah tadi tidak ada orang ramai yang berkumpul-kumpul dan mengadakan upacara-upacara sesaji, seperti membakar kemenyan, dan sesaji terhadap yang ghaib atau ruh-ruh ghaib, maka ruh orang mati tadi akan marah dan masuk (sumerup) ke dalam jasad orang yang masih hidup dari keluarga si mati. Maka untuk itu semalaman para tetangga dan kawan-kawan atau masyarakat tidak tidur, membaca mantera-mantera atau sekedar kumpul-kumpul. Hal semacam itu dilakukan pada malam pertama kemtian, selanjutnya malam ketiga, ketujuh, ke-100, satu tahun, dua tahun dan malam ke-1000.
Setelah orang-orang yang mempunyai kepercayaan tersebut masuk Islam, mereka tetap melakukan upacara-upacara tersebut. Sebagai langkah awal, para da'i terdahulu tidak memberantasnya, tetapi mengalihkan dari upacara yang bersifat Hindu dan Budha itu menjadi upacara yang bernafaskan Islam. Sesaji diganti dengan nasi dan lauk-pauk untuk shodaqoh. Mantera-mantera digantika dengan dzikir, do'a dan bacaan-bacaan Al-Quran. Upacara semacam ini kemudian dianamakan Tahlilan yang sekarang telah membudaya pada sebagian besar masyarakat

Majelis muthala’ah dewan asatidzah tahdzibul washiyyah
Pertanyaan:
Mohon penjelasan dari redaksi al-qudwah tentang latar belakang adanya upacara dan acara tahlilan.
Jawaban:
Adanya perjamuan tahlilan ini diakibatkan oleh pemutar balikan informasi, masyarakat dengan yakin menganggap bahwa hal tersebut merupakan bagian dan sunnah nabi. Padahal, jika ditelusuri asal-usulnya dan dalil yang mendasarinya, tidaklah demikian.
Pengertian tahlilan
Tahlil secara bahasa adalah bacaan kalimat thayyibah (laa illa ha ilallah) namun kemudian kalimat tahlil menjadi sebuah istilah untuk rangkaian acara dan upacara ritual memperingati hari kematian yang biasa dilakukan oleh masyarakat pada umumnya. Berupa bacaan beberapa dzikir, al-qur’an dan doa tertentu yang dibacakan untuk mendoakan orang yang sudah mati. Dari sekian materi yang bacaanya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang, maka acara tersebut biasa dikenal dengan istilah tahlilan.
Tahlilan biasanya dilakukan pada hari pertama sampai dengan hari ketujuh, selanjutnya dilakukan padahari ke 40,100,1 tahun pertama kedua dan ketiga dan seterusnya.
Dan ada juga yang melakukannya padahari ke-1000.dalam upacara di hari-hari tersebut, keluarga si mayit mengundang orang untuk membaca beberapa ayat dan surat al-quran,tahlil, tasbih, tahmid, shalawat dan doa. Pahala bacaan a-quran dan dzikir tersebut dihadiahkan pada si mayit.
Sejarah tahlilan
Menurut penyelidikan para ahli, upacara tersebu berasal dariupacara kepercayaan animism, agama budha dan hindu.
Menurut kepercayaan animisme,hinduisme dan budhisme bila seseorang meninggal dunia maka ruhnya akan datang kerumah padamalam hari mengunjungikeluarganya.jika dalam rumah taditidak ada orang ramai yang berkumpul-kumpul dan mengadakan upacara-upacara sesaji,seperti membakar kemenyan, dan sesajiterhadap yang ghaib atau ruh-ruh ghaib, mka ruh orang mati tadi akan marahdan masuk menyurup kedalam jasad orang yang masih hidup dari keluarga simati.Maka untuk itu semalaman para tetangga dan kawan-kawan atau masyarakat tidak tidur, membaca mantera-mantera atausekedar kumpul-kumpul. Hal semacam itudiakukan padamalampertama kematian, selanjutnya malam ketiga,ketujuh, 100, 1 tahun, 2tahun, malam ke 1000.
Adapun acara dan upacara itu kemudian menjadi tradisi dalammasyarakat Indonesia,maka hal itu tidak terlepas dari sejarah masuknya Islam pada abad ke-17. Dan lebih spesifik lagi adanya tradisi tersebut tidak terlepas dari proses Islamisasi masyarakat jawa oleh para wali/sunan. Strategi para sunan untuk menyebarkan agama Islammenggunakan cara-cara yang halus dengan tujuan agar proses Islamisasi tidak menyakiti orang Jawa sehingga kepercayaan tersebut dirubah sedikit demi sedikit,salah satunya adalah melalui pendekatan tradisi.
Pada waktu walisanga tidak menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat,namun membiarkan tradisi itu berjalan hanya saja isinya diganti dengan nilai-nilai Islam,tradisi dulu bila ada orang mati maka sanak family dan tetangga berkumpul di rumah duka yang dilakukan bukannya mendoakan simati malah bergadang dan bermain judi atau mabuk-mabukan.
Setelah orang-orang yang mempunyai kepercayaan tersebut masuk Islam,mereka tetap melakukan upacara-upacara tersebut. WaliSanga tidak sertamerta membubarkan tradisi tersebut,masyarakat dibiarkan tetapberkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit,sedangkan bentuk upacaranya dialikan dari upacara yang bersifat hindu dan budha itu menjadi upacara yang bernafaskan Islam.Sesajidigantidengan nasi dan lauk-pauk untuk shodaqoh.Mantera-mantera digantikan dengan dzikir, doa dan bacaan-bacaan Alquran.
Pada perkembangan berikutnya tradisi seperti itu dilestarikan olehpara kyiai dari Nahdhatul Ulama (NU). Karena dakwah NU pada awalnya menggunakan pendekatan seperti yang dilakukan walisanga,yakni dalam merekrut pengikut menggunakan pendekatan tradisi.
Sedangkan acara dan upacara seperti itu berakar di masyarakat Islam Sunda tidakterlepas dari proses Islamisasi di tatar Sunda yang selain dibentuk melalui media seni yang digemari masyarakat. Ketika ulama masih sangata jarang kitab suci masih barang langka dan kehidupan masih diwarnai unsur mistis,penyampaian ajaran Islam yang dianggap lebih tepat padawaktu itu adalaha melalui media seni dalam upacara-upacara tradisi, seperti upacara tujuh bulanan, upacara kelahiran, kematian, hingga perkawinan yang semula berawal daritradisi lama diwarnai budaya Islam dengan pembacaan barzanji, marhabaan, salawat, dan tahlil.
Makan-makan di rumah orang kematian.
Soal : Apakah perkataan yang saya bacakan ini, hadis nabi atau tidak? Dan bagaimanakah sanadnya? Adakah shah? Dan apa maksudnya?
“adalah kami menganggap,bahwa bekumpul di rumah mayit dan mereka membuat makanan sesudah ditanam mayit itu,setengah daripada meratap(ratapan atas mayit itu adalah menangis dengan menyebut-nyebut kebaikan si mati)”
Jawab : adapun perkataan itu,diriwayatkan oleh ahmad dariJabir Bin Abdullah Al-Badali,dan sanad dari riwayat itu shahih.
Perkataan itu bukan hadis,hanya menunjukan bagaimana tanggapan sahabatdan tabi’in tentang hal itu. Maksud perkataan ini bahwa berkumpul-kumpul di rumah ahlimayit dan mereaka membuat makanan untuk orang yang dating it, oleh sahabat dan tabi’in dianggap meratap.
Alhasil bikin kenduriyang dikatakan olehorang sebelah sini,malamdua,malam tiga, tujuh, seratus haridll.Adalah termasuk dalam ratapan yang diharamkan oleh Nabi sendiri,dan diriwayatkan
“Berkata ‘Abdullah bin Ja’far : tatkala datanh kabar,bahwa ja’far tlah terbunuh,berkata Nabi SAW : bikinlah makanan untuk ahli rumah ja’far, karena sesungguhnya telah dating kepada mereka itu, satu perkara yang menduka citakan mereka. (H.S.R Syafi’I dan Ahmad)”
Maksudnya hadis ini, bahwa tatkala datang kabar kematian ja’far, maka Nabi menyuruh supaya orang lain membuat makanan untuk ahli rumah ja’far, bukanlah ahli mayit itu, yang akan memberi makanan-makanan buat orang-orang yang datang.
Soal : Bagaimanakah hukum bertahlil, dan selamatan di rumah ahli mayit pada tiga harinya dan seterusnya?
Jawab : bertahlil itu maksidnya disini adalah membaca la ilaha ilallah, bacaan itu baik sekali,tetapi tidak selamanya barang baik itu manjadi baik selama dikerjakanya bukan pada tempatnya.
Sembahyang itu baik, tetapi jikalau dikerjakan bukan pada masanya yang tertentu maka menjadi tidak baik. Adapun bertahlil di rumah orang kematian itu Nabi kita SAW dan sahabatnya tidak pernah menjalankannya atai memerintah supaya mengerjakannya.
Hal ini tidak ada khilafnya di antara ulama-ulama ahlufiqh yang mahsyur, terlebih-lebih imam yang empat.Maka keterangan ini menunjukan bahwa berdzikir dengan cara tersebut adalah bid’ah belaka. Mengerjakan selamatan sebagaimana yang biasa dilakukan di Inonesia hukumnya bid’ah,dan bid’ah tersebut seringkali mencelakakan orang –orang yang tidak mampu yang terkadang menjual barang-barangnya ataumenggadaikan atau meminjam uang gna mngadakan selamatan,sehingga hal ini merea bias menjadi tambah susah dan miskin.
Sesungguhnya menurut fikiran yang waras,bahwa orang susah itu tidak boleh dibikin tambah kesusahannya, tetapi harus diberi kesenangann yang bisa menghilangkan kesusahannya. Lantaran itu Nabi SAW menruruh supaya ahlumayit itu diberi makanan yang cukup.
“telah berkata ‘Abdullah bin ja’far : padakeike tersiar kabar terbunuhnya ja’far,bersabda Nabi SAW . hendaklah kamu bikinkan makanan untuk ahli rumah ja’far lantaran mereka itu telah kedatangan perkara yang menyusahkan mereka.” (H.S.R Ahmad, Abu Dawud, Turmudzie, Ibnu Majah, Syafi’ie dan thabarani)
Hadis ini menunjukan bahwa menurut sunah hendaklan ahlumayititu diberi makanan . bukan merekan yang mmberi makanan sebagaimana keadaan yang berlaku sekarang ini. Adapun orang-orang bersama makan dirumahnya ahlumayit, hukumnya sebagaimana yang tersebut dibawah ini:
“Telah berkata Jarier bin Abdullah Al-Bajli: Adalah kita (sekalian sahabat) menganggap, bahwa berkumpul dirumah ahlumayit, dan membuat makanan sesudah ditanam mayit itu masuk bilangan meratap.” (H.S.R Ahmaddan Ibnu Majah)
“ telah diriwayatkan, bahwa jarier pernah dating kepada Umar, lalu Umar bertanya :Adakah diratapkan atas mayit di kaum kamu? Menjawab Dia : Tidak! Lalu bertanya pula: Adakah orag-orang berkumpul dirumah ahlumayit dan membuat makanan? Menjawab Dia : Ya! Maka Umar berkata : Yang demikian itu ratapan.
Teah terbukti dai dua riwayat ini,bahwa sekalian sahabat telah mufakat dan melarang orang-orang bekumpul dan makan-makan di rumah ahlumayit,keadaan yang demikian itu dinamakan ratapan,sedang meratap itu hukumnya haram.
Soal: Seorang yang telah mati, kemudian kita mengucapkan atau menghadiahkan bacaan Al-Quran atau tahlil kepadanya, apakah sampai pahalanya itu kepadanya?
Jawab: Menurut ayat-ayatAl-quran,bahwa paha quran atau tahlil atau lain-lain amalan yang dibuat orang yang hidup untuk orang mati itu, tidak sampai kepada simati.
Dengarlah sabda Nabi SAW :
“Apablia anak Adam itu mati,maka putuslah amalannya, kcuali tiga perkara.Pertama shodaqoh jariah (waqaf), ilmuyang orang ambil manfaat darinya,ketiga anak yang shalih yang mendoakan dia” (H.S.R Abu Dawud)
Maksud hadis itu bahwa amalan simati tidak akan bertambah,kecuali dengan tiga yang dsebut itu,dan yang disebutkan itu adalah usaha sendiri padawaktuhidupnya.
Dan firman Allah :
“Dan sesungguhnya manusia tidak akan dapat (ganjaran) melainkann dari apa yang ia kerjakan sendiri” (Q.S An-Najm:39)
“maka pada hari qiamat ini,tidaklah seseorang kakan dianiaya sedikitpun, dan tidak dibalas kamu,kecuali apa yang telah kamu kerjakan” (Q.S Yasin : 54)
Maksud ayat ini,menyatakan dengan terang, bahwa hari kiamat itu tidaklah seseorang akan dianiaya dn manusia itu tidaklah akan dapat ganjaran,melainkan dari apa yang ia usahakan di dunia ini. Usaha orang lain seperti bacaqur’an,Tahlield sb itu.tidaklah si mati tidak akan dapat pahalanya,lagipula kalau sampai pahala al-quran atau tahlil itu kepada simati, tentulah akan dikerjakan oleh Nabi SAW atau oleh sahabat-sahabatnya dan tentulah diriwayatkan dari padanya, padahal satu patah kalimatpun tidak menunjukan kepada yang demikian itu
- Kalau pahala boleh dihadiahkan, mengapa tidak di hadiahkan pahala kepada sihidup
- Imam Syafi’ie sendiri berkata : “Pahala bacaan tidak sampai kepada simati”
Adapun juga meriwayatkan hadis-hadis tentang anak menghajikan orang tuanya dan juga tentang ornag hidup bersedekah untuk orang yang mati,tetapi oleh sebab berlawanan dengan ayat-ayat alquran yang begitu kuat dan tegas,maka takdapatlah kita katakana hadis-hadis itu shahih.
Soal : di soal jawab yang lalu tuan-tuan membicarakan tentang tahlil da tuan-tuan katakan tidak berfaidah.Ditempat kami ada orang alim membolehkan,dengan mengeluarkan hadis,haraptuan terangkan lebih jauh.
Jawab: Persoalan ini kami sudah menerangkan beberapa kali di beberapa tempat.
Tahlil yang biasa dikerjakan orang disini ialah kalau ada kematian,maka sesudah mereka bekumpul ramai-ramai lalu tuan syekh tahlil mulai bertahlil dan diturut oleh orang ramai.setelah habis tahlil lalu berdoa dengan bahasa arab yang kebanyakan tukang doanya tidak mengrti artinya,lalu ada sebagian dari mereka menghadiahkan pahala bacaannya itu kepada si mayit.
Sesudah itu,terus makan-makan lalu pulang dan dapat upah terkadang. Begitulah dikerjakan sampai 3, 7, atau 40 hari. Sebelum menetapkan hukum-hukumnya, baik kita mmbuat pertanyaan dahulu supaya terang.
Di satu rumah,kalau ada keatian, apakah yang diperintahkan oleh agama kepada ahli rumah?
Adakah agama memerintahkan bertahlil untuk orang mati dan makan-makan dirumah orang itu?
Dapatkah pahala orang yang mengerjakan tahlil?
Kalau orang yan mengerjakan tahlil dapat pahala,dapatlah pahalanya itu hadiah kepada simati?
Jawaban 1 : di bsatu rumah,kalau ada kematian Nabi SAW mmerintahkan tetangga-tetangga ahli rumah itu member makanan,karena ahlirumah itu dapat kesusahan yang melalaikan mereka
Jawaban 2 : Quran dan hadis tidak memerintahkan kita bertahlil untuk simati, Nabitidak penah mengerjakan, sahabat-sahabat tidak pernah mengerjakan bahkan mnuru riwayat bahwa berkumpul-kumpul di rumah ornag kematian dan membuat makanan sesudah kematian itu sahabat menganggap sebagai niaahah : ratapan, sedang ratapan (tangisan mayit) itu dilarang keras oleh agama.
Jawaban 3 : Tahlil tidak diperintahkan oleh Quran,tidak pernah dikerjakan oleh Nabi SAW tidak pernah dijalankan oleh sahabat tidak pernah diperbuat oleh tabi’in,ini bahkan tidak pernah diperbuat oleh imam yang empat
Mintalah keterangan adanya tahlil itu dari pihak yang menyunatkan tahlil.
Jawaban 4 : Urusan dapat pahala di dalam perkara seperti yang tersebut itu, tidakdiketahui oleh seorang, kecuali kalau dikabarkan oleh al-quran atau hadis atau diamalkan oleh sahabat yang didiamkan oleh Rasulullah.
Didalam urusan tahlil, tdak ada satupun keterangan-keterangan yang ada, maka tidak dapat dikatan yang mengerjakan tahlil itu mendapat pahala. Orang-orang yang menyunatkan tahlil selalu berkata bahwa subhanallah Allahu akbar dll yang terpakai ditahlil itu baik,maka orang yang mengerjakan kenaikan itu tentu dapat pahala.
Kita jawab bahwa tiap-tiap bacaan dan pekerjaan boleh dikatakan baik kalau dikerjakan pada tempatnya dan masa yang ditentukan oleh agama, Umpamanya, kalau seorangsujud diwaktu jam 10 siang 5 kali dan tiap-tiap sujud dia baca attahiyat, dan diantara dua sujud dia baca al-fatihah, lalu ia hadiahkan pahalanya kepada simati, tentu tidak ada ulama yang membolehkannya!apa sebab?
Tidak lain karena diatur sendiri, bukan diatur oleh agama,padahal sujud itu semua orang mngakui baiknya dan al-fatihah serta attahiyat tidak ada yang mengatakan tidak baik.
Begitu juga kalau tahlil di waktu keluar dari kakus tentu dikeji hingga orang yang membolehkan tahlil sendiri padahal ia sendiri mengkui baiknya tahlil. Pendeknya tidak ada satupun perkara ibadat atau urusan bacaan yang menghasilkan pahala melainkan harus ada keterangan dari agama dengan cara-caranya dan ketetapan waktu dan tempatnya.
Jawaban 5 : Walaupun yang mngerjakan tahlil dapat pahala-padahal tidak-maka perlu pula kepada keterangan lain tentang membolehkan ia mnghadiahkan pahalanya itu kepada simati,padahal tidak ada keterangan tentang itu sama sekali.
Didalam hadis hadis ada tersebut bahwa seorang anak boleh menghajikan dan puasakan orang tuanya, tetapi hadis itu karena berlawanan dengan ayat al-quran, dapa tmelainkan amalnya sendiri. Maka tidak dapat dipandang hadis itu hahih, yakni tidak dapat kita percaya bahwa rasulullah pernah berkata begitu
Juga menurut fikiran bahwa ibadat itu perlunya membersihkan seseorang yang mengerjakannya, kalau ibadat di over-over (diberikan),seolah=olah Allah pelu kepada ibadat itu walaupun orang lain sebagaimana seorang yang meminjamkan uang perlu mendapat uang itu walaupun dari siapa saja, lagi kalau ibadat seseorang, bolhe dikerjakan oleh seorang dan pahala satu ibadatitu boleh di over-overkan,mengapa tidak ditahlilkan sihidup?mengapakah sembahyang seorang yang hidup,tidak boleh dikerjakan oleh orang lain dengan upah,umpamanya?
Soal : seorang,biasanya kalau dating sahabat ia keluarkan air teh,dan kalau kebetulan waktu makan, ia ajak makan. Orang ini kemtian seorang anak.Di hari itu ia tidak diberi makan atau minuman kepada orang-orang yang melawat.sesudah tu, kira-kira lima hari datang seorang sahabat dengan urusan lain,maka setelah setengah jam tuan rumah keluarkan teh dan kueh-kueh,sahabat yang datang tadi tidak mau makan dengan alasan tidak boleh makan dirumah orang kematian.
Kira-kira sebulan dari itu sahabattersebu dating lagi dan tuan rumah keluarkan teh dan kue-kue lagi, sahabat itu menolak lagi dngan alasan takut syubhat dan takut melanggar firman Allah yang artinya “..jangan engkau tiru apa yang engkau tidak tahu” (Bani Israil:36) dan beralasan dengan hadis yang artinya “tinggalkanlah sesuatu yang meragu-ragukanmu kepada sesuatuyang tidak meragu-ragukanmu”
Terangkan manakah yang benar?
Jawab : Kalau ada orang kematian, maka agama peintah orang yang terdekat member makan orang-orang rumah itu.Juga agama larang kita berkumpul makan dan minum dirumah itu sesudah ditanam mayit.
Agama tidak membatasi, beberapa hari harunya member makan kepada ahli rumah yang keatian itu,dan tidak juga agama menentukan brapa hari lamanya tidak boleh kita berkumpul makan minum orang kematian tadi.
Karena itu perlu kita fikirkan dan tetapkan batas-batas iu atau kita lepaskan buat selama-lamanya,dari pembatasan dan tidaknya itu bias timbul tiga macam ktetapan yang perlu difikirkan :
Tidak terbatas sama sekali buatselama-lamanya.
Terbatas buat ahli rumah dan atau tidak boleh makan minum dirumah itu buat hari kematian saja
Terbatas sehari atau beberapa hari yang dirasa ahli rumah itu masih bersusah hati memikirkan si mati.
Orang yang tidak mau membatas diri karena agama tidak menetapkan batasnya iu.
Berarti menetpkan tetangga harus member makan kepada ahli rumah selama-lamanya
Terpaksa menetapkan tidak boleh orang-orang lain makan minum di rumah kematian iu selama-lamanya
Kalau dijalankan anggapan ini,barang kali di dunia tidak ada satupun rumah yang boleh kita makan minum padanya lagi
Saya percaya bahwa tidak sekali-kali agama memerintah tetangga meberi makan kepada ahli rumah kematian itu selama-lamanya dengan tidak ada batasnya, dan saya percaya agama tidak melarang kita makan di rumah kematian itu selama-lamanya.
Tidak ada begitu kejadian di zaman Nabi atau sesudahnya bahkan tidak mungkin akan terjadi kejadian begitu, sekarang tinggal
Batas sekali memberi makan ahli rumah kmatian, itu dengan alasan bahwa perintah Nabi itu sekurang-kurangnya perlu dijalankan sekali, dan
Tidak berkumpul-kumpul dan makan minum di rumah kematian itu hanya buat hari yang pertama saja dengan alasan bahwa alasan itu sekurang-kurangnya sesudah ditanam mayit itu.
Orang yang memegang anggapan begini tentulah tidak akan member makan orang-orang yang kematian itu melainkan sekali saja dan tidak akan berkumpul dan tidak akan makan minum seperti biasa melainkan pada hari itu pertama saja.
Oleh sebab batasan itu dengan fikiran karena tidak ada keterangansedang batasa itu, maka saya pilih ketetapan yang ketiga, yaitu bahwa kita memberi makan minum kepada tetangga yang kematian sekurang-kurangnya sehari,kalau mereka tidak begitu susah atas kematian itu sangat menyedihkan mereka, umpamanya yang mati itu kepala keluarga yang menanggung keperluan semua ahli rumah itu.
Begitu juga jangan kita pergi nerkumpul-kumpul makan-makan kue dan minum-minum the dirumah itu beberapa hari, kira-kira pada penglihatan adatdapat dipisahkan antara makan-makan biasa dan yang berhubung dengan pelawatan atas kematian itu.
Tentang kumpul-kumpul makan minum dirumah kematian itu ada sebagian daripada saudara-saudara yang tidak mengerjakan talqin dan tahlil berkata “kedatangan kami ke rumah itu untuk menggirangkan hati orang-orang yang kematian, karena tidak diramai-ramaikan orang-orang yang kemaian itu merasa sedih.
Pertanyaan itu perlu kita jawab
Agama sudah mengatur cara menghiburkan orang yang kematian itu,yaitu berkata “ jangan tuan susah hati atas kematian ini,karena kita semua akan mati.mudah-mudahan Allah ganti kerugian tuan itu!
Orang yang sudah biasa kematian dan memperhatikan urusan tersebut, tentu tahu bahwa orang-orang berkumpul di rumah kita itu tidak menghibur kita, hanya melalaikan kita daripada memikirkan dan daripada bersedih sebentar. Setelah orang-orang itu pulang,kita kembali pada kesedihan kita.Kalau dibiarkan dua atau tiga hari, peringatan dan kesedihan itu akan hilang sendiri.
Pendeknya agama sudah mengatur cara-cara di rumah kematian dan cara-cara di rumah perkawinan, kalau kita ambil alasan hendak menggembirakan hati orang yang kematian,sudah tentu mai music dan lain-lain bias dujadikan penghibur,kalau begitu, tidak ada perbedaaan antara rumah orang mati dan rumah orang kawin!
soal : Apakah ada keterangan dalam agama buat membikin selamatan seorang istri yang hamil tujuh bulan?
Jawab : dari mula-mula seorang hamil sampai ia melahirka kandungannya tidak adasatupun kenduri,selamatan,pesta atau perjamuan yang ditetapkan oleh agama.
Agama memerintahkan kita supaya membuat perjamuan(bukan selamatan) di waktu kawin, dengan tidak pakai bacaan atau tahlil dsb.Dan diperintahkan kita aqiqah buat anak-anak.yakni kalau kita dapat anak, maka pada hari yang ketujuh diperintah menyembelih dua atau kambing buat anak laki-laki dan satu kambing buat anak perempuan,dan dipeintah kita cukur kepala anak tadi sedekahnya diuangkan seberat rambutnya itu, dan di hari itu juga kita beri nama bagi anak kita, dan daging sembelihan itu diperintahkan juga kita kita kirimkan kepada orang miskin dan juga buat kita makan sendiri.di dalam hal tersebut semua tidak sekali-sekali ada bacaan doa selamat, tahlil atau baca barzanji dsb.
Soal : bagaimana halnya dengan makanan tahlilan?
Jawab : adapun makanan seperti nasi, tahu,tempe dsb adalah makanan dari asalnya sudah mempunyai hukum halal
Namun benda-benda yang asalnya halal dapat berubah menjadi aram, apabila timbulnya dari perbuatan haram. Rasulullah bersabda :
“barangsiapa daginya timbul dari jalan haram, maka nerakalah yang terlebih patut baginya.” (H.S.R Hakim)
Tahlilan Hari ke 3, 7, dst itu adalah amalan yang tidak ada dalam Islam. Setiap amalan yang tidak ada Dalam Islam lalu di ada-adakan orang disebut bid’ah, menururt sabda Nabi SAW adalah sesat, dan setiap kesesatan itu adalah tempatnya neraka.
Makan nasi, tempe,tahu dsb yang timbul dari perbuatan bid’ah itu tentulah haram juga, haramnya itu timbul dari perbutan yang bid’ah, disebut “haram ‘aradhi”, yakni haram mendatang
Bagaimana upacara adat pada pernikahan?
Upacara adat sebagian besar berasal dari mitos yang mengandung syirik, bid’ah , tahyul, dan tabdzir sehingga hukumnya haram